Bekerja sebagai penulis lepas atau freelance writer memiliki banyak tantangan dan keseruan yang berdampingan. Tantangan atas segala ketidakpastian pekerja lepas sekaligus keseruannya akan kebebasan menulis kapan dan di mana saja menjadi dua sisi mata koin yang melekat. Kurang lebih begitu bagi sebagian orang yang melihat sisi pekerjaan ini.
Freelance writer cukup digandrungi banyak anak muda yang ingin menunjukkan kemampuannya dalam menulis apa yang mereka suka tanpa terikat oleh aturan formalitas media. Setiap orang tentu memiliki alasan tersendiri untuk memulai karir di dunia ini. Tim berkarir.id ingin tahu lebih jauh perihal bagaimana lika-liku seorang freelance writer memulai, membangun, dan mempertahankan karirnya di dunia penulisan. Bagaimana para penulis lepas memiliki cara untuk bertahan hidup dan menjaga konsistensinya dalam pekerjaan tanpa terikat oleh waktu.
Setelah melakukan pencarian narasumber, akhirnya tim berkarir.id menemukan seorang eksper di bidang ini dan membuat janji wawancara di salah satu coffee shop di Yogyakarta.
Adalah Titah Asmaning Winandar, atau dikenal dengan nama pena Titah AW. Perempuan muda yang berdomisili di Yogyakarta ini aktif menjadi penulis lepas untuk beberapa media di Indonesia. Selama karirnya di Yogyakarta, lulusan Ilmu Komunikasi UGM ini aktif menjadi kontributor di VICE Indonesia.
Beberapa tulisannya juga dimuat di Warn!ngMagz, EYD Magz, Majalah Cobra, beberapa zine di berbagai kota dan tulisan untuk kuratorial pameran seni. Tidak hanya menulis, Titah AW juga kerap menjadi tutor di workshop kelas penulisan jurnalisme sastrawi atau jurnalisme kisah. Pengalaman ini pun menempatkan namanya dalam lingkaran penulis muda Jogja yang aktif.
Hari yang ditunggu pun tiba, Titah AW datang sesuai janji. Ia datang dengan setelan baju serba hitam, menunjukkan karakternya yang khas. Cuaca yang cerah seperti mendukung proses wawancara ini. Pada pukul 11.00 WIB pun obrolan kami dimulai.
Berkarir.id: Bisa diceritakan bagaimana awal mulanya bisa menjadi kontributor VICE seperti sekarang?
Titah AW: VICE masuk Indonesia tahun 2015 atau 2016 akhir. Aku awalnya tidak berpikiran akan masuk ke VICE, Tapi ketika VICE masuk Indonesia, aku sudah di Warn!ngMagz. Ketika VICE masuk Indonesia aku sudah biasa nulis di Warn!ng, nulis musik, pop culture anak muda.
Salah satu editornya VICE adalah Ananda Badudu. Sebelumnya aku sudah pernah kenal, karena pernah interview dia sewaktu di Warn!ng pas masih di Banda Neira (grup musik). Kami jadi kenal dan sering ngobrol.
Sewaktu itu dia jadi wartawan Tempo, kemudian dia pindah ke VICE. Aku ditelepon dan diminta menjadi kontributor untuk Jogja dan Jawa Tengah, aku terima.
Aku mencoba pitching ide dan ternyata masuk di seleranya mereka (VICE). Itu jalur yang sebenarnya tidak umum untuk menjadi kontributor di media mana pun, apalagi VICE. Jalur umumnya, biasanya media terbuka bagi kontributor untuk pitching. Cuma mungkin saat itu aku beruntungnya sudah memulai sejak dulu, sebelum di VICE pun aku sudah menulis di mana-mana. Sudah intens menulis, start-nya itu duluan. Ketika VICE masuk, mereka sudah melihat aku. Itu yang membedakan aku dengan jalur-jalur lain.
Berkarir.id: Semisal ditarik lebih jauh ke belakang awal mula menulis serius menjadi jurnalis atau jadi penulis dari kapan, sih?
Titah AW: Sebenarnya aku sempat mengingat-ingat kenapa aku bisa pengen bergelut di penulisan dan jurnalistik. Kalau ditarik banget akarnya, aku ingat bahwa dulu waktu SD aku punya kebiasaan, bapakku dulu punya langganan koran setiap pagi. Aku punya kebiasaan setiap pagi sambil sarapan punya tugas untuk menyiapkan koran yang akan dibaca bapak sebelum dia berangkat ke kantor.
Diproses itu secara tidak sadar aku ternyata membaca. Itu titik awal aku kenalan sama jurnalistik. Aku semakin yakin apa yang kita alami semasa kita gede ada hubungannya dengan masa kecil. Kupikir itu titik awal aku tertarik di jurnalisme.
Berkarir.id: Berkenalan dengan dunia jurnalistik secara umum dan tingkat lanjutan selama di kampus seperti apa? Dan bagaimana awal bergabung dengan Warn!ng Magz?
Titah AW: Bayanganku dulu waktu masuk komunikasi ya habis lulus, melamar di koran, nyatanya setelah kuliah aku tahu kerja di koran harian itu berat banget dengan gaji yang tidak seberapa juga. Opo meneh (apa lagi) TV, aduh soro (susah) banget, aku mulai mencari alternatif kerja jurnalistik lain yang mungkin lebih cocok menurutku. Terus kemudian aku kenal Warn!ng tahun 2013 awal yang berarti semester 2 kuliah.
Tahun 2013 nulis musik, terus Tomi Wibisono dan Soni Triantor (founder Warn!ngMagz) membimbingku, menjerumuskanku pada isu-isu sosial politik, membuatku lebih aware. intinya Warn!ng lebih punya wadah untuk menyalurkan tulisanku yang nggak tersalur di tugas kuliah.
Kami berhasil memposisikan Warn!ng sebagai majalah media musik independen yang secara konten dilirik sama Rolling Stone. Kami menjalin relasi dengan mereka jadi sesuai kualitas bisa dibilang oke banget.
Berkarir.id: Kalau dilihat dari fokus tulisan, tadi dibilang ada isu sosial, politik, musik, dan budaya. Pernahkah menulis untuk tema-tema lainnya di luar itu?
Titah AW: Pernah, aku pernah jadi content creator. Aku pernah waktu kuliah kerja jadi SMO (Social Media Optimization), cuma bertahan beberapa bulan. Advertising gitu pernah, ghost writer, aku pernah nulis buku tidak dengan namaku, mungkin yang kayak itu. Lainnya ya aku cukup beruntung bisa menemukan pekerjaan yang aku juga sukai.
Berkarir.id: Menjadi seorang freelancer, apakah konsistensi dalam gaya penulisan itu penting untuk dilirik media?
Titah AW: Penting, malah penting banget karena itu masuk dalam bagian dari branding-mu juga. Aku baru menyadari hal itu satu atau dua tahun terakhir. Dulu waktu masih di Warn!ng aku masih aktif nulis musik, sosial, politik. Aku dulu masih dikenal sebagai Titah AW penulis musik. Kemudian aku merasa kayaknya enggak di sini juga.
Awal-awal aku di VICE tema tulisanku masih beragam. Kemudian aku tahu nama Febriana Firdaus, dia bikin thread di Instagram atau Twitter. Dia ngomong sebagai seorang freelance journalist harus punya gigs, gigs issue.
Setelah kulihat, banyak fenomena budaya yang hubungannya dengan kearifan lokal, aku menyebutnya sebagai isu realisme magis. Itu salah satu genre yang dipopulerkan oleh Gabriel García Márquez. Realisme magis ialah genre yang memposisikan hal-hal di luar realitas magis.
Dari tahun 2018, 2019, sampai tahun 2020 ini liputanku di VICE paling banyak soal kearifan lokal, realisme magis, fenomena budaya.
Berkarir.id: Modal awal yang harus dimiliki seorang penulis lepas, selain skill dan relasi tuh apa sih sebenarnya?
Titah AW: Satu, kamu harus siap menghadapi ketidakpastian. Kita tidak punya jam kerja, jam kerja kita yang nentuin, flow kerja kita yang nentuin, sementara pengeluaran bukan kita yang nentuin. Kamu harus siap menghadapi ketidakpastian jika kamu menjadi freelancer, apalagi sebagai penulis.
Kedua, kepekaan melihat sekitar. Karena ketika kamu freelance, kamu memiliki kebebasan untuk kemana-mana, tidak ada ikatan untuk harus ke kantor. Aku lebih bisa banyak nongkrong ketimbang orang kantoran, otomatis punya kesempatan lebih banyak melihat hal-hal yang mungkin dilewatkan oleh orang yang ngantor. Akan rugi ketika kamu freelance tapi isumu masih terbatas.
Kepekaan itu penting banget, kalau di jurnalistik melihat angle. Kemudian menjaga relasi, but not that fake, ya emang aku suka temenan jadi ya sudah, kayak temenan sama siapapun.
Berkarir.id: Pasti sering terjadi penolakan oleh VICE ketika pitching ide, ada siasat untuk tetap yakin dengan kemampuan diri ketika ditolak media?
Titah AW: Aku ketika belum suka sama tulisan yang aku garap tidak akan aku keluarin kemana-mana. Tulisan yang aku kirim ke editor itu pasti sudah melalui filterku sendiri. Aku pasti suka dengan tulisan itu. Aku sudah yakin it’s a good pieces that people should read.
Jadi ketika ditolak, aku akan tetap pede. Mungkin belum tempatnya saja. Masing-masing media kan punya pembacanya masing-masing. Jadi mungkin tempatnya bukan di VICE atau bisa di media lain.
Berkarir.id: Berarti memang harus bagus dulu baru dikirim ke editor?
Titah AW: At least itu bagus buatku, aku membacanya, aku suka.
Berkarir.id: Berapa lama proses peliputan untuk satu artikel? Mulai dari awal pitching sampai selesai?
Titah AW: Aku bukan gambaran freelance yang ideal kupikir. Waktuku untuk liputan VICE itu panjang dan aku fokus untuk VICE saja. Umumnya ketika aku liputan paling tidak dua mingguan sampai terbit.
Liputan itu paling tiga harian lalu mentranskrip wawancara. Aku masih melakukan metode itu, beberapa orang bilang itu tidak efektif, tapi aku selalu bisa menemukan hal-hal yang ternyata terlewat dari apa yang kamu dengar di rekaman.
Seminggu artikel sudah ready, terus biasanya ditinggal dulu sehari. Aku sehari keluar, main, terus balik meneh (lagi), aku self-editing dulu, karena sudah dikasih jarak.
Kamu mengedit tulisanmu sendiri tapi harus ada jarak, jadi aku harus berhenti dulu sehari. Aku kirim ke editor, editor di VICE suka beda-beda, ada yang langsung naik, ada yang nunggu seminggu gitu juga pernah. seminggu prosesnya, proses di akunya.
Berkarir.id: Biasanya satu bulan itu bisa selesaikan berapa artikel?
Titah AW: Maksimal tiga kayaknya.
Berkarir.id: Melihat ekosistem penulis lepas untuk media-media di Indonesia itu bagaimana? Cukup sehatkah iklimnya?
Titah AW: Aku mulai melihat banyak media yang open contributor seperti VICE atau NatGeo yang masih menerima. Bahkan aku sempat di titik berpikir bahwa, ternyata semua media itu bisa kayak gitu ya.
Pengumuman untuk open contributor itu di mana-mana ada, mungkin memang tidak tersebar. Infonya dipegang beberapa orang saja, tapi tetap ada. Dan sekali lagi untuk bisa ke situ kamu harus punya modal relasi tadi, itu penting. Kupikir untuk iklim soal ada atau tidaknya uang menulis sejauh ini aku pikir tetap ada, cuma memang aku tidak tahu kesempatannya sebanyak itu atau tidak.
Berkarir.id: Plus minus jadi penulis lepas apa sih?
Titah AW: Plusnya kamu bisa nentuin isu yang kamu suka, kamu bisa menentukan cara menulis yang bagaimana, kamu bisa menentukan sebanyak apa pekerjaanmu. Kamu punya ruang lebih kayak santai-santai melamun menemukan ide tulisan, sementara misalnya penulis kantoran punya target empat artikel sehari.
Dengan waktu seperti itu freelance journalist seharusnya lebih bisa memproduksi tulisan yang berkualitas, liputan yang berkualitas. Kalau kamu punya waktu banyak sebagai penulis lepas, harusnya kualitas tulisanmu bersaing dengan yang di kantor atau lebih baik bahkan. Karena kamu tidak terikat dalam satu kantor, jadi kamu bisa mengambil beberapa pekerjaan sekaligus.
Minusnya, ketika misalnya penulis yang ngantor bisa meninggalkan pekerjaan di kantor, penulis lepas membawa pekerjaannya kemana-mana. Sambil tidur pun juga mikir pekerjaan. Minusnya lagi, kamu tidak punya jaminan apapun. Isu soal jaminan kerja sebagai freelance lagi dibahas di serikat sindikasi, itu membantu banget sebenarnya, karena sebelumnya tidak ada seperti itu.
Berkarir.id: Pengalaman menarik tentang liputan yang di mana lokasinya jauh atau cukup berbahaya?
Titah AW: Kontributor itu menanggung sendiri semua liputan, jadi misal aku ke Banyumas, aku ke Cirebon, aku bayar sendiri. Terus baru aku ajukan ke sana (VICE), baru tulisannya aku kirim. Tidak di-reimburse, tapi aku suka, itu kayak waktu aku berada di tengah-tengah selapangan orang-orang kesurupan, terus aku ke sana, maksudnya kayak, weh gila, iki opo yo (ini apa ya)?
Di titik itu aku menemukan, aku ingat kenapa aku mau kerja ini. Kayaknya, ini yang pengen aku lihat, ini yang pengen aku tulis. Jadi aku tidak apa-apa, gajiku dipotong untuk bayar hotel misalkan. I dont mind, koyok rasa ne jadi kayak (kayak rasanya jadi seperti) ini tu main aja walaupun itu kerja.
Berkarir.id: Ada masukkan untuk para penulis awam yang ingin menyeriusi hal ini, biar mereka tidak kehabisan ide?
Titah AW: Aku sering kehabisan ide sebenarnya. Sering kehabisan cara buat nyari angle, yang kulakukan adalah aku baca sastra, karena gaya penulisanku jurnalisme sastrawi. Ketika aku lagi susah nyari ide aku baca novel.
Referensi sih mungkin ya. Referensi sastra dan melatih kepekaan. Kamu bisa mengambil jarak dulu mungkin untuk kemudian melihatnya dengan cara yang lebih bebas, lebih santai gitu. Jangan terlalu kaku melihat sesuatu. Nongkrong banyak-banyak, ngobrol banyak-banyak. Karena itu hampir semua ide liputanku ditemukan pas aku ngobrol, bahkan nguping obrolan orang lain.
Berkarir.id: Pernah dapat ide liputan di luar dari biasanya?
Titah AW: Liputan tentang Bapakku sendiri yang paling personal itu. Itu idenya dan angle-nya, aku merasa tidak mencarinya. Jika aku tidak mengalami itu sendiri, mungkin aku tidak akan bisa menuliskan artikel itu dengan perspektif seperti itu. Aku pikir itu salah satu artikelku yang secara kepenulisan dan secara ide paling membekas, berkesan.
Karena aku melihat sendiri, ide yang muncul dari mengendapkan. Prosesnya kayak nulis novel. Jadi mengalami hal, selama kamu mengalami yang masih penuh perasaan kamu tidak bisa menuliskan apa-apa. Terus kemudian itu berlalu satu minggu, dua minggu, kemudian kamu mulai tenang dan kamu bisa melihat fenomena itu.
Mengaitkan hal personal ke konteks yang lebih luas dan dikemas dalam bentuk jurnalistik tapi sangat personal dan mungkin sastrawi. Kayaknya liputan itu salah satunya.
Berkarir.id: Biasanya dalam waktu senggang, dan minim job, kegiatannya ngapain?
Titah AW: Harusnya aku nulis buku. Karena aku pengen nulis fiksi sebenarnya. Inginnya cerpen sih, cuma tidak pede. Tapi masih berlatih, berlatih menulis fiksi kalau aku lagi kosong.
Sama baca, baca aja, baca terus. Prinsipku begini, kalau aku sedang tidak menulis aku membaca, kalau aku sedang membaca ya aku boleh tidak menulis. Karena, pokoknya dua hal itu lah. Seperti nafas. Aku tidak menulis tidak apa-apa asal aku membaca, kalau kamu tidak membaca ya kamu harus menulis, ngono kui (gitu aja) aturanku.
Berkarir.id: Emang seneng baca intinya ya?
Titah AW: Iya, coy.
Berkarir.id: Target jangka panjang dan jangka pendek apa? Ngerjain buku misalnya?
Titah AW: Bukuku akan terbit bulan depan! Karena aku punya isu di VICE, punya agenda pribadi di VICE, aku bisa mengumpulkannya jadi kumpulan tulisan reportase dengan gaya jurnalisme sastrawi.
Aku akan membuat buku kumpulan reportase panjang dengan tema lokalitas dan realisme magis Indonesia. Kumpulan tulisan di VICE sih, basically. Itu menurutku menarik karena sekali lagi tulisanku berusaha memotret fenomena budaya di luar eksotismenya, dan itu jarang dilakukan orang.
Jurnalisme tapi digunakan untuk meliput yang di luar batas logika. Itu terbit sebelum Oktober. Itu juga kulakukan waktu pandemi.
Berkarir.id: Judulnya apa? Sudah kebayang judulnya?
Titah AW: Parade Hantu Siang Bolong. Dapat endorse dari Andreas Harsono.
Berkarir.id: Itu target jangka pendek ya, target jangka panjang?
Titah AW: Dari dulu itu aku cuma bilang aku mau hidup dari menulis. Aku sudah sadar bahwa aku sudah tidak bisa terlalu idealis, dalam gaya penulisan dan apapun, jadi cukup idealismeku adalah, aku ingin hidup dari menulis, dengan cara apapun.
Berkarir.id: Tips untuk para pemula yang ingin berkarir sebagai penulis? Semacam wejangan lah.
Titah AW: Satu, kamu tidak mungkin jadi penulis kalau kamu bukan pembaca yang baik. Lebih khusus, perlakukan berita jadi cerita. Hanya dengan cara itu orang tidak akan cuma tahu, tapi akan mengerti. Bahkan, hal-hal yang paling absurd di dunia. Karena dunia itu penuh hal-hal semacam itu. Aku percaya kenapa banyak masalah, banyak konflik, banyak pertengkaran, ya karena kita simply tidak saling mengerti satu sama lain.
Menulislah dan jangan ambisius menginspirasi orang lain, menulis yang menyenangkan saja. Dan yang menurutmu pantas untuk dikabarkan untuk banyak orang.
Berkarir.id: Menjadi seorang freelance seperti sekarang itu memang dari hati atau memang karena tidak ingin terikat oleh apapun?
Titah AW: So far, aku masih bisa bilang aku dari hati, karena sebenarnya VICE pun sudah menawariku ke Jakarta. VICE menawariku dua kali, jadi staff tapi harus di Jakarta, dengan target tulisan dan lain-lain. Waktu itu aku mikir, aku masih suka cara hidupku di Jogja. Aku suka nongkrong, suka leyeh-leyeh (santai-santai) di Jogja yang itu ga mungkin ada di Jakarta.
Terus pekerjaan itu lewat. Aku bahkan rela melewatkan itu, demi aku tidak mau ke Jakarta.
Berkarir.id: Berarti tidak ambisius untuk kerja di Jakarta?
Titah AW: Tidak, tidak ada. Aku merasa makin ke sini makin tidak masuk akal hidup di Jakarta. Padahal ya memang Jakarta adalah pusat media. Ora lah (tidak lah).
Berkarir.id: Kalau untuk menulis di media luar? Bahasa Inggris?
Titah AW: Soal itu aku ambisius sekali, pengen tapi belum bisa. Aku merasa aku belum qualified. Aku sedang proses belajar, aku mulai baca-baca buku bahasa Inggris, novel-novel bahasa Inggris, baru tiga tahun terakhir aku mulai. Untuk ngomong bahasa Inggris aku pede. Tapi kalau nulis, grammar-ku masih kacau terus aku kayak belum yakin.
Bagaimana sobat berkarir.id, sudah paham bagaimana plus minusnya menjadi seorang freelance writer? Kamu pun bisa juga menjadi seperti Titah AW dengan caramu sendiri. Kembangkan kemampuan dan teruslah belajar tanpa henti.
Jika kamu memiliki pertanyaan seputar kehidupan freelancer, kamu bisa tulis di kolom komentar dan jangan lupa bagikan artikel ini ke teman-temanmu, ya! Good luck!